"Dari keempat bidang itu, diperjualbelikan lagi kepada banyak pihak. Mungkin sampai hari ini, 50 bidang dari SHM 325," ucap Bari.
Dari keempat bidang tanah tersebut, Kayat menjual dua bidang tanahnya dengan sertifikat nomor 704 dan 705, kepada Toenggoel Paraon Siagian.
Baca Juga:
Diminta Bantu Bereskan Pagar Laut Bekasi, Ini Jawaban Eks Menteri Susi Pudjiastuti
Adapun sertifikat tanah nomor 704 seluas 2,4 hektare dan nomor 705 seluas 3.100 meter persegi. Sertifikat pun balik nama menjadi milik Toenggoel. "Sedangkan bidang tanah dengan sertifikat nomor 706 dan nomor 707 dijual secara acak oleh Kayat," jelas Bari.
Bari mengatakan, pada 1996, anak Abdul Hamid bernama Mimi Jamilah tiba-tiba menggugat ke Pengadilan Negeri Bekasi. Gugatan dilakukan setelah ayahnya meninggal dunia.
Gugatan yang dilayangkan Mimi hanya bermodalkan AJB ketika mendiang ayahnya bertransaksi membeli tanah dari tangan Juju. Terdapat empat pihak sebagai tergugat, yakni Bambang, Kayat, Juju, dan Toenggoel. Gugatan berlangsung panjang. Bahkan gugatan sampai ke tingkat kasasi.
Baca Juga:
Begini Kisah Awal Mula Sertifikat Pagar Laut Bekasi, dari Kampung Pindah ke Perairan
”Tahun 2002 terjadi akta perdamaian antara Mimi dengan tergugat. Setelah perdamaian tersebut, sudah tidak ada lagi isu. Kayat kemudian meninggal," kata Bari.
Terusirnya penghuni cluster Setelah ada kesepakatan damai antara pihak tergugat dengan Mimi, Toenggoel kemudian menjual bidang tanah dengan sertifikat nomor 705 seluas 3.100 meter persegi ke Bari.
Sebelum bertransaksi, Bari lebih dulu memverifikasi legalitas tanah dengan sertifikat nomor 705 tersebut. Berdasarkan verifikasinya ke Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bekasi, sertifikat tanah nomor 705 tidak bermasalah.