Setelah dianalisis, SHGB yang dimiliki oleh PT CL dan PT MAN sebagian besar berada di luar garis pantai sehingga harus dibatalkan. Persoalannya, kata Nusron pembatalan tidak bisa segera dilakukan. Sebab Kementerian ATR/BPN tak bisa memberlakukan asas contrarius actus karena ada SHGB berusia di atas 5 tahun.
Asas contrarius actus merupakan asas hukum yang menyatakan bahwa pejabat tata usaha negara (TUN) berwenang membatalkan keputusan yang dibuatnya.
Baca Juga:
Kasus Sertifikat Laut Bekasi, Kades Berperan Mencari Pembeli
"Jadi pejabat yang menerbitkan sertifikat, atau pejabat yang melakukan administrasi negara, tidak bisa mencabut karena contrarius actus kita dibatasi oleh PP 18 hanya (untuk sertifikat berusia sampai) 5 tahun," ungkap Nusron.
"Kalau yang usianya dibawah 5 tahun, kita bisa langsung, kayak (kejadian di) Desa Kohod, saya langsung bisa. Karena kami punya hak contrarius actus. Karena usianya (sertifikat) masih dibawah 5 tahun.Tapi yang ini, ini usianya sudah di atas 10 tahun. Di atas 5 tahun," paparnya.
Terhadap kejadian di Desa Hruip Jaya ini, Kementerian ATR/BPN sedang meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) dan berkonsultasi.
Baca Juga:
Kasus Sertifikat Laut Bekasi, 9 Tersangka Palsukan 93 SHM Untung Miliaran Rupiah
Konsultasi bertujuan memastikan apakah boleh BPN sebagai institusi yang menerbitkan sertifikat itu minta penetapan pengadilan supaya bisa melakukan pembatalan.
”Supaya pengadilan memerintahkan ini dibatalkan. Kalau tidak itu, kita akan masukkan ini menjadi kategori tanah musnah. Kalau ini masuk kategori tanah musnah, kami harus mampu membuktikan bahwa semua sertifikat yang terbit di luar garis pantai, dulunya tanah," kata Nusron.
[Redaktur: Mega Puspita]