Bekasi.WahanaNews.co - Di atas tanah yang kini tak lagi berdinding, di antara puing-puing yang dulu menjadi tempat berlindung, seulas senyum akhirnya kembali merekah.
Tangis yang sempat mengalir karena kehilangan, kini beradu dengan air mata haru di tengah Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Baca Juga:
Dua Pekerja Kebersihan Pakuwon Mall Tewas Terjatuh dari Lantai 8
Mursiti, seorang wanita yang rumahnya telah rata dengan tanah, tak kuasa menahan emosinya saat mendengar janji Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.
"Pak, terima kasih, Pak," lirihnya, sembari menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Ia tak sendiri. Yeldi dan Asmawati, yang berdiri di sampingnya, ikut merasakan hal yang sama.
Baca Juga:
Soal Eksekusi Tanah di Tambun Bekasi, Developer Siap Lawan Lewat Gugatan Hukum
Rumah yang mereka bangun dengan penuh perjuangan telah tiada. Namun, hari ini, harapan itu datang, meski dalam bentuk yang sederhana.
Hari itu, Jumat (7/2/2025), di bawah langit Bekasi yang seakan ikut menyaksikan luka mereka, Nusron Wahid hadir di lokasi penggusuran. Lima rumah telah roboh, menjadi saksi bisu atas kesalahan yang tak seharusnya terjadi.
Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II, dalam eksekusi pada 30 Januari lalu, telah menggusur rumah-rumah yang tak seharusnya tersentuh.
Kini, yang tersisa hanyalah lahan yang dipenuhi puing, kenangan, dan duka mendalam. Sebagai bentuk empati, Nusron berjanji akan memberikan bantuan Rp25 juta untuk setiap rumah yang salah gusur.
“Sebagai bukti empati dan komitmen kami kepada ibu-ibu korban penggusuran, dari saya pribadi nanti akan kami bantu masing-masing Rp 25 juta," ujar Nusron.
Ucapannya disambut dengan senyum haru. Bagi sebagian orang, mungkin jumlah itu tak seberapa jika dibanding sejumlah bangunan yang telah ambruk. Tetapi bagi mereka yang kehilangan segalanya, angka itu berarti harapan baru.
Harapan untuk kembali membangun, harapan untuk kembali memiliki atap yang melindungi. Tanah di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi ini memang telah berubah wujud.
Lima rumah yang dulu berdiri kokoh milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, serta satu bangunan milik Bank Perumahan Rakyat (BPR) telah tiada. Semua bermula dari sengketa lahan 3,6 hektar yang berakar dari gugatan lama sejak 1996. Saat palu hukum diketuk dan eksekusi dilakukan, kelima rumah itu tersapu.
Sayangnya, baru belakangan diketahui bahwa pengadilan telah melakukan kesalahan fatal—mereka menggusur rumah yang seharusnya tak tersentuh.
Kesalahan prosedur ini telah merenggut segalanya dari para pemilik rumah. Namun, di tengah luka yang menganga, ada secercah cahaya.
Mursiti, yang tadi tak kuasa menahan tangis, kini bergegas memeluk Nusron. Seolah dalam dekapan itu tersimpan doa, harapan, dan rasa syukur yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Warga lain pun saling berpelukan, berbagi kebahagiaan dalam getirnya kenyataan yang masih harus mereka hadapi. Saat Nusron melangkah menuju kendaraan dinasnya, ia kembali menyalami satu per satu para korban.
"Iya, iya," ucapnya singkat, tetapi cukup untuk meninggalkan jejak empati di hati mereka. Kini, tanah yang kosong itu masih sunyi. Namun, di hati para pemiliknya, harapan mulai tumbuh kembali.
Mereka tahu, rumah-rumah yang telah roboh tak bisa kembali dalam semalam. Tetapi dengan janji ini, setidaknya mereka bisa bermimpi, membangun lagi, dan percaya bahwa di balik setiap kehilangan, ada jalan untuk kembali pulang.
[Redaktur: Mega Puspita]