Bekasi.WAHANANEWS.CO - Elisabeth Br. Silaban bersama tiga saudara kandungnya akhirnya melaporkan sejumlah orang ke Polres Metro Bekasi Kota pada Sabtu (21/6/2025).
Mereka menduga para terlapor adalah bagian dari jaringan mafia tanah yang mencoba menguasai tanah warisan orangtua mereka di kawasan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi.
Baca Juga:
Bos Ruko Sembako Tewas Mengenaskan di Bekasi, Polisi Selidiki Dugaan Kekerasan
Dalam laporan tersebut, Elisabeth dan keluarganya menuding para terlapor telah melanggar hukum dengan memasuki pekarangan tanpa izin.
Mereka juga merasa diintimidasi dan dipaksa untuk meninggalkan rumah dan tanah milik orangtuanya, almarhum Lawer Silaban dan almarhumah Maria Situmeang.
“Kami sudah berkonsultasi dengan kepolisian dan kuasa hukum. Setelah itu, kami putuskan untuk melapor atas tindakan intimidasi dan pengusiran yang kami alami,” ujar Elisabeth, Minggu (22/6), didampingi pengacaranya.
Baca Juga:
LSM Trinusa Peras Pedagang hingga Rp5,8 Miliar, Ketua Dapat Jatah Rp1,6 Juta Per Hari
Dari bukti laporan polisi yang diperoleh wartawan, Elisabeth melaporkan AKO, YS, dan sejumlah orang lain dengan sangkaan melanggar Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan orang lain tanpa izin.
Ia menjelaskan, para terlapor mengklaim memiliki hak atas tanah tersebut, bahkan menyuruh keluarga Silaban untuk segera pergi tanpa memberikan bukti atau dasar hukum yang jelas. Mereka juga disebut kerap mengirim surat-surat yang tak memiliki landasan hukum kuat.
“Sudah berkali-kali kami didatangi dan dipaksa untuk keluar. Mereka juga minta surat tanah asli kami,” kata Elisabeth yang mengaku menyaksikan sendiri intimidasi itu bersama para ahli waris lainnya.
Tak hanya datang sekali, Elisabeth menyebut para terlapor sering menyerbu rumahnya dalam jumlah besar. “Mereka datang tiba-tiba dan ramai-ramai, bikin kami ketakutan,” tuturnya.
Saudaranya, Antonius Silaban, juga mengaku terkejut dengan cara-cara yang digunakan para terlapor. Ia sudah tinggal dan membuka bengkel di lokasi tersebut selama puluhan tahun.
“Beberapa minggu lalu, saya dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk mengosongkan rumah. Saat itu, AKO dan YS datang bersama seseorang berseragam TNI AD bernama BN,” jelasnya.
Antonius menambahkan, surat tersebut sebenarnya sudah disiapkan oleh seorang wanita yang diduga diarahkan oleh YS. Isinya menyatakan bahwa tanah harus dikosongkan paling lambat 23 Juni 2025 pukul 17.00 WIB.
“Saya sempat menolak karena kami pemilik sah tanah itu. Tapi karena ada tekanan dan intimidasi, saya akhirnya menandatangani juga,” katanya.
Menurut Antonius, mereka juga sempat meminta salinan surat kuasa dari AKO yang mengaku sebagai ahli waris, namun tak pernah diberi. “Kami tanya surat kuasanya, tapi tidak pernah ditunjukkan. Klaim mereka tidak jelas,” imbuhnya.
Setelah mendapatkan masukan dari keluarga dan pengacara, Antonius mencabut surat pernyataan yang ditekennya di bawah tekanan tersebut. “Saya cabut tanggal 18 Juni, sebelum batas waktu pengosongan tiba. Mereka juga sempat menawarkan uang Rp100 juta sebagai ‘upah’ pengosongan,” ujar Antonius.
Pada hari Sabtu, 21 Juni 2025, ketika kelompok tersebut kembali datang, Antonius sudah didampingi oleh pengacara Maruli Tua Silaban, SH, MH dari kantor hukum LAW FIRM MTS & PARTNERS. Maruli hadir untuk melakukan perlawanan hukum dan menegaskan bahwa para terlapor harus menunjukkan legalitas hak mereka atas tanah itu.
“Sebelum kami membuat laporan, Pak Maruli sudah minta fotokopi atau salinan legalitas AKO dan YS. Tapi mereka tidak bisa menunjukkannya. Akhirnya kami lanjut ke Polres untuk melapor,” jelas Antonius.
Maruli Tua Silaban menilai, kasus ini merupakan contoh nyata praktik mafia tanah. Ia menyayangkan cara-cara kekerasan dan intimidasi yang digunakan pihak terlapor.
“Mereka ingin merampas tanah warisan tanpa jalur hukum. Klien kami, ahli waris sah, malah ditekan dan ditakut-takuti,” ujar Maruli.
Ia juga meminta perhatian aparat penegak hukum untuk segera membasmi mafia tanah, terutama yang beroperasi di wilayah hukum Kota Bekasi seperti yang diduga dilakukan oleh AKO dan YS.
“Laporan ini adalah langkah awal. Pasal 167 KUHP bisa jadi pintu masuk untuk menjerat mereka. Tapi kami menduga, ini bagian dari jaringan mafia tanah yang lebih luas,” katanya.
Maruli yang juga Ketua Umum Jaringan Damai Indonesia Prabowo-Gibran menegaskan perlunya perlindungan hukum bagi kliennya.
Ia meminta Kapolri, Kapolda, hingga Kapolres Metro Bekasi turun tangan.
“Sering kali pelaku memakai nama dan atribut aparat negara untuk memberi tekanan. Padahal, belum ada putusan hukum yang menyatakan mereka berhak atas tanah tersebut. Klien kami butuh perlindungan hukum,” pungkas Maruli.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]